-->

Kamis, 30 Juni 2011

Sekilas Hari Raya Galungan dan Kuningan yang Dilaksanakan Agama Hindu


Hindu adalah salah satu dari 5 agama yang diakui di Indonesia. Agama Hindu yang sangat mendominasi berada di pulau Bali atau dikenal dengan nama Pulau Surga. Di Bali, saat ini sedang diwarnai dengan suasana liburan siswa-siswi atau pelajar setelah mereka menerima LHB (Laporan Hasil Belajar). Liburan pelajar di Bali berawal dari tanggal 12 Juni sampai tanggal 17 Juli 2011. Selain liburan karena telah menerima LHB, di Bali juga ada pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan yang memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu di Bali khususnya. Berikut ini akan dibahas lebih jelas lagi tentang seluk beluk dari Hari Raya Galungan dan Kunningan di Bali.

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itulah di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Walaupun namanya berbeda, tapi artinya tetap sama. Di Bali ada disebut wewaran yang di dalam bagiannya disebut pancawara. Pancawara itu sendiri mengandung wara yang disebut Umanis. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi yang memiliki arti sama yakni manis. Pada awalnya, perayaan Hari Raya Galungan pertamakali dirayakan di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Menurut Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI), Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuno yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.

Akan tetapi, waktu Hari Raya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan nama Hari Raya Galungan tersebut, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya yang artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Selain itu, Galungan juga sebagai salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.

Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.

Adapun prosesi upacara sebelum dan sesudah Galungan adalah sebagai berikut:

1) Sugihan Jawa dan Sugihan Bali

Sugihan Jawa dkrayakan pada hari Kamis Wage Wuku Sungsang yang memiliki makna untuk menyucikan Bhuwana Agung atau alam semesta. Sedangkan Sugihan Bali dirayakan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang yang memiliki makna untuk menyucikan Bhuwana Alit atau diri sendiri.

2) Penyekeban/Penapean

Penyekeban jatuh pada hari Minggu Pahing Wuku Dungulan. Dalam kegiatan ini,orang-orang nyekeb buah-buahan untuk Galungan seperti pisang. Maknanya adalah “anyekung jnana” (mendiamkan pikiran) agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan (bagian dari Sang Kala) yang sudah urun pada hari Minggu.

3) Penyajaan

Jatuh pada hari Senin Pon Dungulan, pada hari ini orang-orang membuat jajan untuk Hari Raya Galungan. Bagi yang paham tentang yoga dan semadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan pengasta-waning sang ngamong yoga semadhi, pada hari ini turun Sang Bhuta Dungulan.

4) Penampahan Galungan

Pada Anggara Wage Wuku Dungulan ini turun Sang Bhuta Amangku Rat. Hari ini dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Bhuta Tiga dengan upacara pokok, yaitu membuat banten biyakala, ayng disebut dengan pabiyakala lara melaradan. Makna sebenarnya pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia.

5) Manis Galungan

Jatuh pada hari Kamis Umanis Wuku Dungulan, pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan Dharma. Pada hari itu umat Hindu melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi sanak saudara dan tempat-tempat hiburan yang indah sambil bergembira.

6) Pemari dan Guru

Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, pada hari itu Dewata kembali ke surge dan meninggalkan anugrah berupa kedirgayusan, yaitu hidup sehat dan panjang umur.

7) Pemacekan Agung

Jatuh pada hari Senin Kliwon Kuningan mempersembahkan Segehan Agung pada semua Bhuta Kala.

8) Penampahan Kuningan

Jatuh pada haru Jumat Wage Kuningan.

9) Hari Raya Kuningan

Jatuh pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, menurut lontar Sundari Gama menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan mengindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Karena pada tengah hari, para Dewata dan Dewa Pitara kembali ke surge (Dewa Mur Muah Maring Swarga)

Demikianlah serangkaian kegiatan dalam rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan umat Hindu.

(Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni dan "Widya Dharma Agama Hindu" oleh I Ketut Surakartha,dkk, terbitan GANECA EXACT)

1 komentar:

  1. Rahajeng Galungan dan Kuningan, Semoga Sinar Suci Dharma selalu menyinari kita Umat Hindu Sedharma di seluruh dunia.. Damai selalu bersama Ida Hyang Widhi
    | | | Nak Bali Belog | | |

    BalasHapus